01 Juli 2009

Diri yang bertahan..

Seharian kemarin saya berkutat dengan virus yang menggerogoti laptop. Sudah menjadi cerita lama, ketika musim UAS tiba maka virus menyerang beruntun melalui flashdisk teman-teman yang niatnya hanya sekedar ikut memindahkan data.

Ucapan istighfar berkali-kali meluncur dari mulut ini, namun tak ayal juga sumpah serapah menyeruak keluar karena harus mengerjakan deadline tugas akhir dan laporan yang menumpuk. Sebenarnya hal tersebut sudah diantisipasi dengan rajin mengupdate antivirus secara berkala walaupun pada akhirnya dengan perasaan sedikit kesal, laptop kesayanganku ini pun harus di install ulang. :)

Seperti halnya laptop yang rentan akan virus, tubuh kita pun rentan akan gangguan stress. Secara umum, stress dapat di terjemahbebaskan sebagai suatu tekanan . Apabila tekanan ini melebihi ambang batas kesanggupan kita dan datang secara tiba-tiba maka kecenderungan untuk menjadi stress sangatlah besar. Stress terkait dengan seberapa besar kita dapat menghadapi tuntutan untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Stress lebih bersifat subjektif karena hanya dapat dirasakan oleh yang mengalaminya saja. Selain itu, Stress dapat menjadi semacam sinyal yang memberikan aba-aba pada kita bahwa kita sedang merasakan suatu kecemasan dan kita harus bisa secepat mungkin untuk membaca situasi tersebut supaya kita dapat mengendalikan diri.

Saya jadi teringat ketika diskusi dengan teman-teman kuliah bahwa stress itu berkaitan erat dengan mekanisme pertahan diri yang merupakan suatu sistem dalam diri kita untuk melindungi diri dari segala hal yang dapat mengancam. Mekanisme pertahanan diri tersebut tidak lepas dari peranan ego -dalam struktur kepribadian- sebagai pelaksana kepribadian kita. Kualitas ego tersebut dapat dibagai menjadi tiga tingkatan yaitu : (1) Ego utuh namun fungsi lemah ; (2) Ego retak; dan (3) Ego bolong.

Ego utuh namun fungsi lemah terjadi karena terlalu sering melakukan perlindungan diri dari ancaman dengan cara bertahan yang berlebih-lebihan terhadap suatu tekanan. Hal ini tidak dapat dipisahkan dari situasi yang menyebabkan tekanan itu terjadi (presdisposisi), pemicu (trigger)dan kualitas berhubungan (interaksi) dengan yang lain. Hal tersebut mengakibatkan permasalahan menjadi tidak terselesaikan dan kualitas ego menjadi melemah. Kecenderungan orang yang memiliki ego seperti ini menjadi mudah cemas.

Ego retak biasanya terjadi karena trauma yang terlalu keras. Hal itu menimbulkan kekacauan rangsangan, aliran dalam fungsi ego tidak sampai pada tujuan, bercabang , dan meloncat-loncat sehingga ia tidak dapat memahami suatu permasalahan secara utuh, pikiran menjadi kemana mana dan berbicara tidak jelas.

Ego bolong terjadi karena terlalu banyak dorongan dari dalam diri yang tidak dapat dicerna lagi dalam melakukan seleksi perilaku. Rangsangan dari dalam akan keluar begitu saja tanpa adanya saringan sehingga tekanan dari luar akan direspon dan ia tidak dapat mengendalikan lagi dorongan-dorongan yang muncul. Kecenderungan orang yang memiliki ego ini menjadi antisosial.

Dengan adanya mekanisme pertahan diri sesungguhnya Allah SWT telah memberikan anugerah pada kita semua semacam free antivirus yang otomatis bekerja untuk melindungi diri kita dari segala hal yang dapat mengancam keseimbangan mental kita. Marilah kita perbaharui diri kita dengan senantiasa mensyukuri semua nikmat yang telah Allah SWT berikan dan tetap tawakal dalam segala situasi yang paling menekan sekalipun. Semoga........